TEORI ANOMIE
Pendahuluan
Kepustakaan kriminologi diIndonesia masih merupakan komoditi pengetahuan yang
langka. Banyak mahasiswa, praktisi, dan pemerhati terhadap disiplin ilmu ini
belum memperoleh informasi yang seluas-luasnya mengenai konsep-konsep
kejahatan, interaksi antara pelaku kejahatan dan lingkungan social, dan
bagaimana stuktur masyarakat menimbulkan dampak penyimpangan tingkah laku pada
individu-individu tertentu.
Apabila teori kriminologi mengutamakan penjelasan mengenai konsep kejahatan
sebagai gejala individu, maka teori kriminologi moderen yang dipelopori
oleh Durkheim dan penganut aliran interaksionisme lainnya, mengutamakan konsep
kejahatan sebagai gejala sosial.
Selain informasi menegenai konsep-konsep tentang kejahatan dan pelbagi teori
yang menjelaskan konsep di maksud, juga tidak kurang pentingnya informasi
mengenai analisis terhadap masalah kejahatan dan penyimpangan tingkah laku
lainnya yang tengah berkembang di Indonesia pada saat ini, sekalipun dilihat
dari sudut pendekatan teori kriminologi yang berkembang di negara Barat.
Pada makalah ini, pemakalah mencoba menjelaskan tentang teori Anomie, mengenai
pengertian dari teori Anomie, latar belakang teori Anomie, serta konsep dari
Durkheim mengenai teori Anomie tersebut.
Perumusan masalah
Adapun perumusan masalah yang kami buat ini
dibagi menjadi tiga bagian sebagai berikut:
1.
Apakah pengertian dari
teori Anomie?
2.
Bagaimanakah teori
Anomie itu ada?
3.
Bagaimanakah konsep
Anomie yang di perkenalkan oleh Durkheim?
Tujuan penulisan
Setiap usaha yang dilakukan sudah tentu
mempunyai tujuan tertentu yang diharapkan dari penulisan makalah ini.
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah:
1.
Dapat mengetahui arti
dari teori Anomie
2.
Dapat mengetahui
tentang adanya teori Anomie
3.
Dapat mengetahui
konsep teori Anomie yang di perkenalkan oleh Durkheim
Pembahasan
A. PENGERTIAN TEORI ANOMIE
Anomie adalah sebuah
istilah yang diperkenalkan oleh Emile Durkheim untuk menggambarkan
keadaan yang kacau, tanpa peraturan. Kata ini berasal dari bahasa
Yunani “tanpa”, dan nomos: “hukum” atau “peraturan. Emile
Durkheim, sosiolog perintis Prancis abad ke-19 menggunakan kata
ini dalam bukunya yang menuraikan sebab-sebab bunuh diri untuk menggambarkan
keadaan atau kekacauan dalam diri individu yang dicirikan oleh
ketidakhadiran atau berkurangnya standar atau nilai-nilai, dan perasaan
alienasi dan ketiadaan tujuan yang menyertainya. Anomie sangat umum terjadi
apabila masyarakat sekitarnya mengalami perubahan-perubahan yang besar dalam
situasi ekonomi, entah semakin baik atau semakin buruk, dan lebih umum lagi
ketika ada kesenjangan besar antara teori-teori dan nilai-nilai ideologis yang
umumnya diakui dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pandangan
Durkheim, agama-agama tradisional seringkali memberikan dasar bagi nilai-nilai
bersama yang tidak dimiliki oleh individu yang mengalami anomie. Lebih jauh ia
berpendapat bahwa pembagian kerja yang banyak terjadi dalam kehidupan ekonomi
modern sejak revolusi industry menyebabkan individu mengejar tujuan-tujuan yang
egois ketimbang kebaikan komunitas yang lebih luas.
Robert King
Merton juga mengadopsi gagasan tentang anomie dalam karyanya. Ia
mendefinisikannya sebagai kesenjangan antara tujuan-tujuan sosial bersama dan
cara-cara yang sah untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dengan kata lain,
individu yang mengalami anomie akan berusaha mencapai tujuan-tujuan bersama
dari suatu masyarakat tertentu, namn tidak dapat mencapai tujuan-tujuan
tersebut dengan sah karena berbagai keterbatasan sosial. Akibatnya, individu
itu akan memperlihatkan perilaku menyimpang untuk memuaskan dirinya
sendiri.
B. Latar Belakang Teori Anomi
Secara global, actual dan representative teori Anomi lahir,
tumbuh,dan berkembang berdasarkan kondisi social.[1] Perkembangan masyarakat dunia terutama setelah era depresi
besar yang melanda khususnya masyarakat Eropa pada tahun 1930 an telah banyak
menarik perhatian pakar sosiologi saat itu. Hal ini di sebabkan telah terjadi
perubahan besar dalam struktur masyarakat sebagai akibat dari depresi tersebut,
yaitu tradisi yang telah menghilang dan telah tejadi “deregulasi”
di dalam masyarakat. Keadaan inilah yang dinamakan sebagai “Anomi” oleh
Durkheim (Williams III & Mc Shane, 1988).
Pakar sosiologi melihat peristiwa tersebut lebih jauh lagi dan mengambil makna
darinya sebagai suatu bukti atau petunjuk bahwa terdapat hubungan erat antara
struktur masyarakat dengan penyimpangan tingkah laku individu.
Dalam konteks perkembangan ekonomi Indonesia yang di tandai dengan perkembangan
industrialisasi dan pelbagi fluktuasi yang kurang menentu dari kebijaksanaan
pemerintah di bidang perekonomian dan keuangan, terutama setelah pelita II dan
diikuti dengan perkembangan kejahatan yang semakin canggih khususnya di bidang
perekonomian dan perbankan, tampaknya teori Anomi dapat digunakan sebagai pisau
analisis yang dapat mengungkapkan secara memadai pelbagi kejahatan dimaksud.[2]
C. Konsep Anomi
Menurut Durkheim Anomi di artikan sebagai suatu keadaan tanpa
norma (the concept of Anomie referred to on absence of social regulation
normlessness). Kemudian dalam buku the division of labor in society Emile
Durkheim mempergunakan istilah Anomi untuk mendeskripsikan keadaan
“deregulation” di dalam masyarakat yang di artikan sebagai tidak di taatinya
aturan-aturan yang terdapat pada masyarakat sehingga orang tidak tahu apa yang
di harapkan dari orang lain dan keadaan ini menyebabkan deviasi.
Menurut Emile, teori
Anomi terdiri dari tiga perspektif, yaitu:
§
Manusia adalah mahluk
social
§
Keberadaan manusia
sebagai mahluk social
§
Manusia cenderung
hidup dalam masyarakat dan keberadaannya sangat tergantung pada masyarakat
tersebut sebagai koloni[3]
Konsep Durkheim tentang Anomi termasuk kelompok teori undercontrol. Isu
pokok dari kelompok teori ini menurut Hagan adalah “why do people
violate laws that most of us accept?” di pihak lain, Box memasukkan
kelompok teori di atas ke dalam teori strain dengan mengajukkan isu “Why do
some people break the law?” terhadap isu-isu yang di kemukakan di atas,
Hagan dan Box mengetengahkan penjelasan yang berbeda-beda satu sama lain,
meskipun isu pertanyaan kedua pakar tersebut mengandung esensi yang secara mendasar
tidak berbeda.
Riset Durkheim tentang “suicide”atau bunuh diri dilandaskan pada asumsi bahwa
rata-rata bunuh diri yang terjadi di masyarakat yang merupakan tindakan akhir
puncak dari suatu Anomi bervariasi atas dua keadaan social, yaitu social
intergration dan social deregulation.
Selanjutnya ia mengemukakan bahwa keadaan
terendah atau tertinggi dari tingkat integrasi dan regulasi akan mengakibatkan
tingginya angka rata-rata bunuh diri. Dalam skema hipotesis Durkheim akan tampak
sebagai berikut:
Social conditions
|
High
|
Low
|
Social
Integration
|
Alturism
|
Egoism
|
Social
Regulation
|
Fatalism
|
Anomi
|
Durkheim mengemukakan bahwa bunuh diri atau “suicide” berasal dari tiga kondisi
social yang menekan (stress), yaitu:
1.
Deregulasi kebutuhan
atau Anomi
2.
Regulasi yang
keterlaluan atau fatalisme
3.
Kurangnya integritas
struktural atau egoisme
Hipotesis keempat dari “suicide” merujuk kepada proses
sosialisasi dari seseorang individu kepada suatu nilai budaya “altruistic” yang
mendorong yang bersangkutan untuk melakukan bunuh diri. Hipotesis keempat ini
bukan termaksud teori “ stress”[4]
Yang menarik perhatian
dari konsep Anomi Durkheim adalah kegunaan konsep yang di maksud lebih lanjut
untuk menjelaskan penyimpangan tingkah laku yang di sebabkan kondisi ekonomi
dalam masyarakat. Secara gemilang konsep ini telah dikembangkan lebih jauh oleh
Merton terhadap penyimpangan tingkah laku yang terjadi di masyarakat Amerika.
Merton menjelaskan
bahwa masyarakat Amerika telah melembaga suatu cita-cita untuk mengejar sukses
semaksimal mungkin yang umumnya diukur dari harta kekayaan yang dimiliki
seseorang. Untuk mencapai sukses dimaksud, masyarakat sudah menetapkan
cara-cara tertentu yang di akui dan dibenarkan yang harus ditempuh seseorang.
Meskipun demikian pada kenyataannya tidak semua orang mencapai cita-cita di
maksud melalui cara-cara yang di benarkan. Oleh karena itu, terdapat individu
yang berusaha mencapai cita-cita dimaksud melalui cara yang melanggar
Undang-Undang. Pada umumnya, mereka yang melakukan cara yang bertentangan
dengan Undang-undang tersebut berasal dari masyarakat kelas bawah golongan
minoritas.
Ketidaksamaan kondisi
social yang ada di masyarakat adalah disebabkan proses terbentuknya masyarakat
itu sendiri, yang menurut pendangan Merton, struktur masyarakat demikian adalah
Anomistis. Individu dalam keadaan masyarakat yang Anomistis selalu dihadapkan
pada adanya tekanan (psikologis) atau strain karena ketidakmampuannya untuk
mengadaptasi aspirasi sebaik-baiknya walaupun dalam kesempatan yang sangat
terbatas.